New York City, Ekstasi merupakan salah satu
dari obat terlarang yang
banyak digunakan di Indonesia,
selain kokain, ganja dan heroin.
Tapi penelitian baru menemukan
bahwa ekstasi bisa berguna untuk dijadikan terapi autisme. Ekstasi atau dikenal juga
sebagai MDMA (Methylene Dioxy
Meth Amphetamine) telah
dikenal dapat meningkatkan
perasaan bahagia, euforia, rasa
keintiman dengan orang lain, serta meredakan depresi dan
kegelisahan, meski obat ini juga
sangat berbahaya bila
disalahgunakan. "Efek empathogenic ini
menunjukkan bahwa MDMA bisa
berguna untuk meningkatkan
psikoterapi bagi pasien yang
mengalami masalah komunikasi,
seperti autisme, skizofrenia atau gangguan kepribadian
antisosial lain," jelas Gillinder
Bedi, asisten profesor psikologi
klinis di Columbia University dan
peneliti di New York State
Psychiatric Institute, New York City, seperti dilansir Medindia,
Senin (3/1/2011). Menurut Bedi, ekstasi dapat
mempengaruhi neuron di otak
yang menggunakan serotonin
neurotransmitter untuk
berkomunikasi dengan neuron
lainnya. Serotonin kimia otak yang
disebut hormon oksitosin
memainkan peranan penting
dalam mengatur suasana hati,
agresi, tidur dan kepekaan
terhadap rasa sakit, juga terkait dengan ikatan sosial dan
salah satu hormon yang dapat
mengurangi efek dari kortisol
(hormon pemicu stres). "Dalam konteks pengobatan,
efek ini bisa meningkatkan
keakraban pada orang-orang
yang mengalami kesulitan
merasa dekat dengan orang
lain," kata John Krystal, editor Biological Psychiatry. Sayangnya, ekstasi sering
digunakan kalangan 'club drug'
saat menikmati hiburan malam
hari. Obat ini sering
disalahgunakan dengan cara
dikombinasikan dengan alkohol, sehingga memiliki efek yang
dapat berpotensi mengancam
nyawa. "Meski demikian diperlukan lebih
banyak penelitian mengenai
pengontrolan ekstasi untuk
menentukan apakah obat ini
bisa dengan aman dan efektif
menjadi obat psikoterapi untuk beberapa kondisi," ungkap Bedi. Temuan sebelumnya yang telah
dipublikasikan dalam Journal of
Psychopharmacology juga
menunjukkan bahwa ekstasi
dapat berguna bagiorang dengan gangguan stres pasca-trauma (post-traumatic
stress disorder atau PTSD),
misalnya trauma pelecehan
seksual. Dr. Michael Mithoefer yang
melakukan studi ekstasi dan
PTSD sebelumnya menuturkan
sangat penting untuk
menyelidiki terapi baru yang
potensial. Dan hal ini tidak boleh dicegah hanya karena ada
sesuatu yang disalahgunakan. "Banyak hal yang bisa
mengancam jiwa atau
berbahaya jika digunakan
secara tidak benar. Tapi jika
digunakan dengan bijaksana dan
benar, maka ada banyak hal yang juga bisa membantu,"
ungkap Dr Mithoefer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar